1. Latar Belakang
Kejadian banjir yang selalu berulang di beberapa tempat di Indonesia tetap berlangsung, walaupun telah dilakukan upaya oleh pemerintah tanpa mengenal lelah untuk mengatasinya. Misalnya di Kecamatan Dayeuh Kolot, dilewati sungai Citarum Hulu, yang terletak di cekungan Bandung, bekas danau purba berada pada elevasi 600-100 mdpl, Kabupaten Bandung, semenjak tahun 1990-2023 telah berulang sebanyak 12 kali kejadian banjir luapan sungai Citarum Hulu yang menggenangi daerah tersebut dengan kedalaman banjir kurang lebih 1 meter. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti pengerukan sungai CItarum guna mengembalikan kapasitas aliran sungai, pembuatan polder Cienteung di kecamatan Baleendah, kabupaten Bandung untuk menampung dan memompa air yang tertampung di kolam retensi ke sungai Citarum, pembuatan Floodway Cisangkuy untuk menghindarkan Dayeuh Kolot dari banjir sungai Cisangkuy, Pembangunan terowongan Nanjung untuk mempercepat aliran banjir sungai Citarum ke hilir, dll, namun banjir di sungai Citarum Hulu belum meperlihatkan tanda-tanda segera bisa diatasi.
Apakah yang terjadi sebenarnya di sungai Citarum Hulu? Mengapa beragam upaya untuk mengatasi banjir yang telah dilakukan tidak membawakan hasil seperti yang diharapkan?
2. Pembahasan
a. Sistem Daerah Aliran Sungai
Menurut World Meteorological Organization, dalam bukunya Integrated Flood Management WMO Guidance, digambarkan bahwa suatu system Daerah Aliran Sungai, bisa kita kelompokkan menjadi a. Sumber Limpasan Banjir, b. Alur Sungai, dan c. Reseptor Banjir.
Sumber Limpasan Banjir merupakan daerah tangkapan air dari sebuah sungai yang sangat berpotensi menimbulkan banjir, tergantung seperti apakah kondisi hidro-topografi dan vegetasinya. Dipicu oleh deforestrasi, urbanisasi yang terjadi di sebuah Daerah Tangkapan Air, misalnya, akan meningkatkan besarnya debit banjir dan sedimen akibat meningkatnya erosi di DTA, yang masuk ke dalam alur sungai serta mempercepat datangnya puncak banjir di sungai, menurunnya base-flow, mengurangi infiltrasi ke dalam groundwater, serta menyebabkan pendangkalan alur sungai dan tergenanginya dataran banjir yang saat ini sudah berkembang menjadi lahan pertanian yang subur, dan kawasan permukiman, perdagangan, perkantoran dll. DTA yang ditumbuhi hutan lebat, memiliki koefisien limpasan yang lebih kecil dibandingkan dengan suatu DTA yang mengalami deforestrasi , sehingga menghasilkan limpasan air yang masuk ke dalam sungai relative lebih kecil.
Alur Sungai adalah suatu wadah aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Alur sungai ini sering mengalami pendangkalan akibat besarnya volume sediman yang masuk ke dalam sungai, sehingga memperkecil kapasitas alur sungai dalam menampung debit banjir. Terlebih lagi akibat rusaknya DTA di hulu sungai akibat aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang tidak terkendali, mengakibatkan hujan dengan intensitas yang sama, akan menghasilkan puncak debit banjir yang lebih besar, sehingga banjir yang ditimbulkan tidak dapat tertampung lagi di alur sungai, apalagi pada alur sungai yang mengalami pendangkalan.
Reseptor Banjir adalah tempat-tempat rendah di sepanjang sungai yang berpotensi digenangi air, umumnya disebut dataran banjir yang terbentuk melalui proses alami, seperti erosi, sedimentasi, perubahan aliran sungai, dan proses geologis lainnya. Dataran banjir ini secara ekologis berfungsi sebagai area penampungan air saat banjir, dan merupakan kawasan pertanian yang subur akibat adanya endapan top-soil yang terbawa banjir dari kawasan hulu. Saat ini, sehubungan dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia pada umumnya, dan di Jawa khusunya, dataran banjir banyak dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya pertanian, permukiman, perkantoran, perdagangan, sehingga akibatnya pada saat banjir, kawasan budidaya tersebut berpotensi tergenang air akibat luapan banjir yang tidak dapat ditampung lagi oleh kapasitas alur sungai.
b. Perubahan Iklim
Penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan perubahan siklus air. Hal ini mengakibatkan peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi kejadian cuaca ekstrem.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Banjir:
a. Meningkatnya intensitas curah hujan dengan durasi singkat, meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor, terutama selama musim hujan.
b. Meningkatnya tinggi muka air laut, yang menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap wilayah pesisir Indonesia, meningkatkan risiko banjir karena banjir dari sungai sulit masuk ke laut.
c. Risiko penurunan muka tanah akibat abstraksi air tanah yang melebihi tingkat pengisian ulang di wilayah pesisir. Hal ini mengakibatkan wilayah pesisir semakin rentan terhadap banjir.
d. Mengubah aliran sungai, yang berpotensi menyebabkan peningkatan risiko banjir di beberapa wilayah dan penurunan aliran di wilayah lain, yang berdampak pada sumber daya air dan praktik pertanian.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Kekeringan:
Perubahan iklim menyebabkan musim kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan debit aliran musim kemarau yang berkurang, sehingga mengakibatkan kekeringan yang parah. Hal ini akan meningkatkan kelangkaan air, yang menyebabkan kurangnya ketersediaan air baku baik untuk air minum, irigasi pertanian, air untuk industri, serta air untuk memelihara ekosistem sungai, yang dapat mengurangi keanekaragaman hayati, dan di sisi lain kekeringan ini akan meningkatkan risiko kebakaran hutan.
c. Perkembangan Sosial- Ekonomi Masyarakat.
Aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang tidak terkendali di Sumber Limpasan Banjir maupun Dataran Banjir berdampak yang negatif terhadap perilaku banjir maupun terhadap masyarakat yang tinggal di dataran banjir.
Deforestasi, dan Alih Fungsi Lahan pada Sumber Limpasan Banjir
Walaupun Gunung Wayang telah ditetapkan menjadi Hutan Lindung pada tahun 2009, namun fungsinya sebagai hutan lindung masih belum sesuai dengan ketetapan hutan lindung yaitu mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan di hilirnya untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hal ini terlihat sampai saat ini hutan ini masih digunakan oleh masyarakat untuk lahan pertanian, karena menurut mereka dengan dijadikan lahan pertanian kehidupan mereka akan semakin Makmur.
Deforestasi dan perubahan Tata Guna Lahan di Gunung Wayang ini tentunya akan meningkatkan koefisien limpasan, meningkatkan erosi permukaan tanah, yang akhirnya akan mengakibatkan peningkatan puncak debit banjir, dan volume sedimen yang masuk ke sungai Citarum Hulu, serta mengurangi potensi pengisian ulang air tanah yang akan mengurangi volume air tanah serta memperkecil base-flow, aliran musim kemarau.
Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat di Dataran Banjir
Aktivitas sosial-ekonomi masyarakat di dataran banjir mempunyai dampak timbal balik. Di satu sisi aktivitas sosial ekonomi berupa pembangunan permukiman, perkantoran, pertokoan , perdagangan tentunya akan mengurangi ruang untuk air ketika terjadi banjir, dan sebaliknya apabila terjadi luapan banjir sungai, maka bangunan-bangunan pada dataran banjir tersebut akan tergenang banjir yang akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat.
Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan, di kabupaten ini terdapat tiga kecamatan rawan banjir yaitu kecamatan Baleendah, kecamatan Dayeuhkolot, dan kecamatan Bojongsoang. Kajian terhadap DAS Citarum pada tahun 2011 menunjukkan bahwa di kecamatan Dayeuhkolot 94%, atau 879,8 ha wilayahnya berpotensi terkena banjir setiap tahun, sedangkan wilayah Baleendah memiliki potensi banjir setiap tahun sekitar 39% atau 1.651,5 ha. Adapun jumlah Kepala Keluarga yang terdampak banjir di ketiga kecamatan tersebut diperoleh informasi sebagai berikut: kecamatan Baleendah 3559 KK, kecamatan Dayeuh Kolot 930 KK, kecamatan Bojongsoang meliputi 564 KK.
Ketiga wilayah kecamatan yang berpotensi mengalami kerusakan karena seringnya dilanda banjir ini dalam Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2024 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air disebut sebagai Kawasan Daya Rusak Air. Kawasan ini keberadaannya perlu ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya, dan dilakukan pengendalian penggunaan lahannya untuk melindungai masyarakat dari daya rusak air yang sering melanda Kawasan tersebut.
3. Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan
a. Sumber Limpasan Banjir
Sumber Limpasan Banjir merupakan tempat asal muasal timbulnya banjir. Untuk mengelola banjir dan kekeringan, sumber limpasan banjir diupayakan agar menghasilkan serendah mungkin puncak banjir pada waktu musim hujan, dan tetap mengalirkan air pada waktu musim kemarau. Upaya ini bisa dilakukan melaui upaya Teknik Sipil, dan atau upaya Rehabilitasi lahan maupun hutan.
Upaya teknik sipil bisa dilakukan melalui pembangunan waduk-waduk , pada tempat-tempat yang memungkinkan berdasar aspek topographis, geologis, sosial, ekonomi maupun lingkungan, untuk menampung volume air pada saat banjir, sehingga dapat mereduksi besaran puncak-puncak banjir ke hilir, kemudian melepaskanya pada saat aliran air di sungai sudah surut, dengan harapan debit banjir sudah dapat ditampung oleh sungai, dan sebaliknya pada saat musim kemarau air yang tertampung di dalam waduk dapat dilepaskan untuk berbagai keperluan.
Rehabilitasi lahan dan hutan dalam kaitannya dengan limpasan banjir, merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lahan maupun hutan yang mengalami kerusakan fungsi hidrologisnya akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Alih fungsi lahan ini umunya berupa aktivitas manusia yang secara ekonomis menguntungkan namun secara ekologis merugikan, misalnya penebangan liar, pembangunan kawasan permukiman, pembukaan perkebunan yang rawan erosi, pengembangan kawasan wisata, dsb.
Rehabilitasi lahan dilakukan dengan memperbaiki kondisi tanah yang terdegradasi, dengan memperlambat aliran pada permukaan tanah, tujuannya adalah untuk mengurangi erosi, melaui terasering misalnya, serta meningkatkan kesuburan tanah dengan mengurangi potensi erosi, pengolahan tanah yang tepat, menggunakan pupuk organic, menggunakan tanaman penutup, dsb.
b. Alur Sungai
Kapasitas pengaliran debit sungai sering tidak memadai untuk menampung debit banjir yang timbul. Terlebih lagi dengan adanya perubahan iklim yang ditengarai dengan meningkatnya intensitas hujan dengan durasi yang lebih singkat, dan apabila diperparah dengan kondisi sumber limpasan banjir yang sudah mengalami degradasi, maka kombinasi ini akan menimbulkan bencana banjir fatal. Untuk memitigasi bencana ini, beberapa opsi dapat dilakukan, antara lain:
1. River Improvement
Perbaikanan sungai merupakan tindakan untuk meningkatkan kapasitas aliran sungai yang ada, meliputi pelebaran sungai, pengerukan sedimen, dan pembangunan tanggul .
Pelebaran sungai akan menjaga muka air sungai tetap rendah, namun di daerah perkotaan, pelaksanaannya mungkin sulit karena masalah pembebasan lahan. Oleh karena itu, kombinasi tindakan untuk mengurangi debit puncak di bagian hulu sungai daerah perkotaan dianggap perlu.
Pengerukan sedimen merupakan kegiatan pemeliharaan untuk mempertahankan kapasitas alur sungai. Namun, pengerukan sedimen ini apabila tidak dibarengi dengan perbaikan DTA di sumber limpasan banjir, maka biayanya mahal mengingat dalam waktu singkat, alur sungai akan dipenuhi lagi dengan sedimen.
Tanggul sering dibangun untuk melindungi daerah rawan banji. Ketinggian tanggul didesain berdasarkan besaran banjir yang sesuai kriteria yang berlaku untuk jenis daerah rawan banjir yang dilindungi, dengan menggunakan ukuran return period, misal banjir dengan return period 50 tahunan untuk melindungi kawasan perkotaan. Semakin besar return period yang digunakan, maka akan menghasilkan tanggul yang semakin tinggi. Tanggul yang semakin tinggi ini tentunya bukan hanya membawa rasa aman bagi masyarakat sekitar, namun justru akan menimbulkan ancaman yang semakin besar, mengingat satu titik lemah dari tanggul yang panjangnya beberapa kilo meter ini karena kesalahan manusiawi pada saat pembangunannya, akan mengakibatkan tanggul jebol dan menimbulkan bencana banjir yang fatal.
2. Floodway
Floodway dibangun untuk memperkecil puncak debit banjir sungai yang melintasi suatu kawasan perkotaan, atau kawasan penting lainnya, dengan mengalihkan debit, atau sebagian debit sungai langsung ke sungai utama atau ke laut melalui sungai buatan, mengingat untuk meningkatkan kapasitas aliran sungai melalui pelebaran maupun pembangunan tanggul sulit untuk dilakukan. Dengan adanya floodway, diharapan suatu Kawasan penting terhindar dari banjir. Namun, saat ini pembangunan floodway memerlukan pembebasan lahan yang mahal. Untuk itu tindakan memperkecil potensi banjir di hulu sungai perlu dilakukan.
3. Retarding Basin
Retarding basin umumnya dibangun di tengah atau hilir sungai, untuk mengurangi besaran banjir di hilirnya. Retarding basin harus mempunyai tampungan yang cukup besar, sehingga memiliki efek peredaman banjir. Perlu menjadikan perhatian bahwa tidak semua DAS memiliki topografi yang sesuai untuk pembangunan retarding basin, terlebih lagi daerah-daerah yang cocok untuk pembangunan retarding basin saat ini umumnya sudah dimanfaatkan menjadi lahan pertanian yang subur, sehingga memerlukan biaya yang mahal untuk membebaskannya.
c. Reseptor Banjir
Masyarakat biasanya memilih tinggal di daerah yang relatif aman dari banjir. Namun, karena meningkatnya tekanan populasi, urbanisasi dan marginalisasi, serta pembangunan yang tidak mengacu pada penataan ruang yang baik, semakin banyak orang yang terpaksa tinggal di tempat-tempat yang seharusnya bukan merupakan kawasan hunian yang aman. Sehingga pada saat terjadi banjir, dataran banjir yang sudah diokupasi masyarakat untuk aktivitas sosial ekonominya, akan tergenangi oleh luapan banjir. Bahkan sebagaimana disampaikan di awal tulisan, bahwa 94% wilayah kecamatan Dayeuh Kolot, dan 39% wilayah kecamatan Baleendah, yang saat ini sudah padat dengan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat setiap tahunnya berpotensi tergenang luapan banjir sungai Citarum.
Untuk mengurangi genangan akibat hujan lokal yang turun di sekitar kecamatan Dayeuh Kolot, kecamatan Baleendah, dan kecamatan Bojong Soang, danau tapal kuda atau oxbow lake yang terbentuk akibat proses meandering yang ada di sungai Citarum, dapat dimanfaatkan sebagai polder-polder alami, dengan cara menampung genangan banjir lokal dari daerah sekitar oxbow lake, dan memompanya ke sungai Citarum.
Untuk melindungi masyarakat dari risiko banjir dan sekaligus dalam rangka mewujudkan pembanguan yang berkelanjutan, maka diperlukan Peraturan Zonasi untuk Pemanfaatan Dataran Banjir.
Prinsip dasar Zonasi Dataran Banjir adalah:
1 Pengurangan risiko bencana melalui pembatasan pembangunan di area rawan banjir dengan kategori bahaya
2 Penyesuaian aktivitas sosial-ekonomi masyarakat, melalui klasifikasi zonasi berdasarkanfrekwensi dan kedalaman banjir. Misalnya zona merah, bahaya; zona kuning kuning, waspada; zona hijau, awas.
3 Pelestarian fungsi alam, dengan tujuan mempertahankan dataran banjir sebagai bagian dari retarding basin, daerah resapan air, dan ekosistem sungai.
Disamping Peraturan Zonasi untuk Pemanfaatan Dataran Banjir, perlu juga diterapkannya bangunan-bangunan yang adaptif terhadap risiko banjir, yaitu Flood Proofing.
Flood Proofing mencakup tindakan permanen atau sementara untuk mencegah air banjir mencapai bangunan dan infrastruktur, atau meminimalkan kerusakan jika air menyentuh atau memasuki bangunan.
Beberapa metode flood proofing dapat dibedakan menjadi :
Elevasi: meninggikan bangunan atau permukaan tanah sehingga lantai dasar lebih tinggi dari tingkat banjir desain;
Pencegahan banjir kering: memastikan bahwa air tidak memasuki bangunan dengan membuat dinding, pintu, jendela, dan bukaan lain pada bangunan kedap air; dan
Pencegahan banjir basah: desain yang memungkinkan air banjir memasuki rumah dengan bebas, tetapi meminimalkan dampak dengan mengurangi kerusakan struktural akibat kekuatan air. Isi rumah dapat disimpan sementara di tempat yang lebih tinggi atau dipindahkan. Tindakan tersebut dapat mencakup menyediakan tempat tinggal kedua yang tidak terpapar bahaya banjir selama banjir.
4. Kesimpulan dan Saran
a. Upaya-upaya yang telah dilakukan sampai dengan saat ini terlihat lebih fokus ke penggarapan Alur Sungai, seperti pengerukan sedimen, pembuatan floodway, pembuatan terowongan Nanjung, pembuatan kolam retensi, dll namun belum diimbangi dengan penggarapan yang efektif terhadap Sumber Limpasan Banjir di Gunung Wayang dan pengelolaan Reseptor Banjir di kecamatan Dayeuh Kolot, kecamatan Bale Endah dan Kecamatan Bojong Soang. Untuk itu disarankan agar diadopsi pendekatan Integrated Flood Management untuk mengelola banjir di sungai Citarum.
b. Sumber Limpasan Banjir sungai Citarum Hulu yang ada di gunung Wayang memerlukan rehabilitasi lahan dan hutan yang efektif guna memperkecil puncak debit banjir, memperkecil erosi sedimen yang masuk ke sungai Citarum Hulu, serta untuk meningkatkan recharge air tanah. Terlebih lagi dengan adanya perubahan iklim yang menimbulkan kejadian hujan ekstrem yang memicu banjir ekstrem, dan kemarau panjang yang tidak bisa dihindari, rehabilitasi sumber aliran banjir sungai Citarum sangat mendesak untuk segera dilakukan.
c. Rehabilitasi lahan dan hutan di gunung Wayang memerlukan kajian sosio-ekonomi masyarakat setempat yang seksama. Rehabilitasi lahan dan hutan hendaknya tetap memberikan ruang kepada masyarakat untuk tetap memperoleh penghasilan yang setara, atau yang melebihi dari penghasilan sebelumnya.
d. Mengingat seringnya kecamatan Dayeuh Kolot, kecamatan Baleendah dan kecamatan Bojong Soang terlanda banjir dengan kedalaman yang signifikan, kecamatan-kecamatan tersebut perlu segera ditetapkan sebagai Kawasan Daya Rusak Air oleh Menteri, diatur penggunaan dataran banjir tersebut, dan dilakukan pengendalian penggunaannya untuk melindungai masyarakat dari bencana banjir.
e. Penataan ruang di dataran banjir yang sudah dipadati penduduk, memerlukan pendekatan partisipatif jangka panjang dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkannya.
Daftar Pustaka:
- Manual on Flood Control Planning, JICA, 2003
- Modal Sosial Dalam Penanggulangan Bencana Banjir (Kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat), R.A. Tachya Muhamad, Bintarsih Sekarningrum, Yusar, 2017
- PP No.30 Tahun 2024 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
- Selecting Measures and Designing Strategies for Integrated Flood Management, WMO, 2017
Penulis : Ir. Adang Saf Ahmad, CES.